PIKIRANSUMBAR.COM–Mengutip berita atau informasi yang bersumber dari Instagram kejaksaan negeri Dharmasraya tertanggal Kamis (25/4), bahwa kasus dugaan tindak pidana korupsi terkait dengan penyalahan gunaan Dana Nagari Sikabau oleh Walinagari dan juga Ketua Bamus Nagari Sikabau yang sempat viral dan menjadi polemik di tengah masyarakat, yakni terjadi penyelewengan dana dari sistim bagi hasil koperasi sawit Pusako Ninik Mamak dengan PT. AWB untuk Pemerintahan Nagari Sikabau, yang mana di dalam sistem bagi hasil itu sendiri ada sesuatu yang luput untuk dibicarakan, yakni aturan adat Nagari Sikabau tentang pengelolaan Tanah Ulayat.
Dan seperti yang disampaikan Hendri Atriyan, selaku Tuo Bujang dari Suku Piliang didampingi Aldamri selaku Tuo Suku di Kenagarian Sikabau, terdapat aturan adat menyoal kasus dugaan tindak pidana korupsi terkait dengan bagi hasil antara perusahaan PT. AWB sebagai pihak ke II dengan pemilik tanah Ulayat Nagari. Ulayat yang selama ini kita kenal sebagai Ulayat Datuak Gadang yang berada dibawah penguasaan Ninik mamak nan baranam di Kenagarian Sikabau.
“Sesuai dari tradisi yang ada di Nagari Sikabau sendiri, bahkan sebelum daerah Rantau Tigo Jurai atau sekarang kita kenal dengan Nama Kabupaten Dharmasraya ini di serahkan di bawah Pemerintah Hindia pada 1905, yang kemudian secara otomatis menjadi bagian dari NKRI. Sistim bagi hasil bagi siapapun yang mengelola Ulayat Nagari sudah diterapkan, yaitu sepertujuh hasil dari pengelolaan tersebut harus diserahkan kembali kepada Kepala Kampuang, yang kala itu belum dalam bentuk pemerintahan seperti sekarang,” ujarnya.
Nah, disini masalahnya kemudian timbul, ujar Hendri, karena sudah menjadi tradisi yang hidup dalam masyarakat Nagari Sikabau, sehingga ada kerancuan sedikit di sini jadinya, dana yang dulunya dilimpahkan oleh Datuk Nan Baranam kepada Kapalo Kampuang berikut juga dengan cara penggunaannya, karena zaman telah bergerak maju, sekarang diberikan kepada Pemerintahan Nagari.
Namun begitu, penggunaannya juga masih didasari sesuai kesepakatan bersama, yang itu dibekukan dalam bentuk kesepakatan bersama antara pengurus Koperasi Sawit Pusako Ninik Mamak Nagari Sikabau dan 24 Ninik Mamak yang ada di Nagari Sikabau yang itu secara otomatis membuat pertanggungjawaban atas dana tersebut tentu kepada Ninik Mamak nan 24 di Nagari Sikabau.
Dalam surat kesepakatan antara Pengurus Koperasi Sawit Pusako Ninik mamak dengan Ninik mamak disebutkan, yaitu sebanyak 5 bagian untuk kebaikan kampung yang artinya ini tentu kepada Pemerintah Nagari yang sah sekarang, yang mana dalam pembagiannya yang 5 bagian itu terdapat, 2 bagian untuk pembangunan, 1 bagian untuk insentif perangkat, 1.5 bagian untuk guru ngaji yang ada di Nagari Sikabau, dan setengah bagian untuk Organisasi yang ada di Nagari Sikabau. Dan ini di kemudian hari menjadi si malakama bagi Pemerintah Nagari sebagai pos dari pengelolaan dana tersebut, dan tidak melaporkan adanya dana tersebut kepada pihak terkait yang ada di Pemerintahan Daerah.
“Saya jelaskan sedikit tentang Datuak Nan Baranam tadi, ialah Penghulu dari 6 suku yang ada di Sikabau, diantaranya Suku Piliang, Mandahiliang, Patopang, Melayu , Tigo Ninik, dan Patapang baruah. Dengan terjadinya insiden penahanan bagi oknum Wali Nagari AR oleh pihak kejaksaan negeri Dharmasraya, tentu Ninik mamak dan tokoh masyarakat di Nagari Sikabau sangat kecewa dan menyayangkan terkait bunyi pemberitaan tersebut, yang mana disebutkan masalah kerugian negara terkait pembagian hasil usaha tanah ulayat dengan perusahaan sawit PT. Andalas Wahana Berjaya (AWB), sehingga menimbulkan berbagai macam persepsi bagi masyarakat yang tidak mengetahui duduk persoalan dalam kasus ini, bahkan ada juga masyarakat yang beranggapan bahwa dana tersebut adalah dana desa yang bersumber dari APBN,” jelasnya.
Sejatinya, ditambahkan oleh Hendri Atriyan, kami berharap persoalan ini dapat di selesaikan secara Restoratif Justice mengingat yang dipermasalahkan itu adalah dengan tidak dimasukkan dan dilaporkannya Dana Dari Bagi Hasil tersebut kepada pihak-pihak terkait yang ada di dalam pemerintahan daerah.
“Namun begitu, kami selaku pemangku adat tentu menginginkan agar pihak-pihak yang memiliki kewenangan dalam kasus ini, agar bisa mempertimbangkan, mencermati, dan juga menghormati hukum-hukum adat yang telah lama hidup di dalam nagari kami, khususnya Kenagarian Sikabau Sendiri,” pintanya.
Disisi lain, Hendri juga menekankan, bahwa berdasarkan informasi dan pemberitaan dari beberapa media online terbitan Jumat (26/04/2024) menyebutkan dari audit yang dilakukan oleh Inspektorat Kabupaten Dharmasraya, ditemukan Kerugian Keuangan Negara sebesar Rp.1.616.053.000,00 (satu miliyar enam ratus enam belas juta lima puluh tiga ribu rupiah). Namun, kita tentu harus mencermati juga, apa itu yang dimaksud dengan uang Negara.
“Bahwa, Keuangan Negara berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU Nomor 17 Tahun 2003 menyebutkan, semua hak dan kewajiban Negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan milik Negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban negara,” sebutnya.
Nah, di sini tentu dapat kita lihat bagaimana akhirnya persinggungan, atau benturan antara hukum dan tradisi adat yang sudah lama hidup di Nagari Sikabau dengan hukum positif yang ada di Negara kita, sehingga dana yang disisihkan dari hasil pengelolaan Tanah Ulayat untuk kemakmuran nagari tadi bisa disebut sebagai uang negara.
“Maka dari itu, sekali lagi, dengan penuh kerendahan hati, kami mewakili pemuka adat dari Kenagarian Sikabau meminta agar pihak terkait dalam menangani kasus ini bisa kembali menimbang, mencermati, dan juga melihat kasus ini dengan jernih dan sesuai dengan prinsip keadilan yang berlaku,” tutupnya.